Landasan dalam bimbingan dan
konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam
mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk
dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fondasi yang kuat dan tahan
lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh, maka
bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan
layanan
bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fondasi atau landasan yang
kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling
itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya
(klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara
umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan
dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan
sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi.
Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan
bimbingan dan konseling tersebut.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan
arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan
bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis,
etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama
berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis
tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran
filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan
bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para
penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson &
Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia
sebagai berikut :
a. Manusia
adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk
meningkatkan perkembangan dirinya.
b. Manusia
dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha
memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
c. Manusia
berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri
khususnya melalui pendidikan.
d. Manusia
dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya
untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol
keburukan.
e. Manusia
memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
f. Manusia
akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud
melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
g. Manusia
adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
h. Manusia
adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini
memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu
adan akan menjadi apa manusia itu.
i. Manusia
pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun,
manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk
melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya
bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang
manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus
mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan
berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan
(klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi
yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang:
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan
dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif
yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia
lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang
terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau
keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut
diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku
instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan
dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan
yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari
keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit,
golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu.
Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk
mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu
berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada
individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau
bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius),
normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula
dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan
sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup
dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana
yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak
dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan
dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa
konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik
dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa
teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan,
diantaranya:
Ø Teori dari McCandless tentang pentingnya
dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu
Ø Teori dari Freud tentang dorongan
seksual
Ø Teori dari Erickson tentang
perkembangan psiko-sosial
Ø Teori dari Piaget tentang
perkembangan kognitif
Ø teori dari Kohlberg tentang
perkembangan moral
Ø teori dari Zunker tentang
perkembangan karier
Ø Teori dari Buhler tentang
perkembangan social
Ø Teori dari Havighurst tentang
tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami
berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat
arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan
faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep
yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar,
seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan
belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti
perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan
memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah
tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda
perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan.
Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa
prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar
sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang
berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan
rujukan, diantaranya:
Ø Teori Belajar Behaviorisme
Ø Teori Belajar Kognitif atau Teori
Pemrosesan Informasi
ØTeori Belajar Gestalt. Dewasa ini
mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
d. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya
masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan
komprehensif. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W.
Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi
tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya,
akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih
lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam
diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003)
mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang
bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma)
lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik
bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu
dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur
psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi
kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang
kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak
dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik
dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan
Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori
Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull,
Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin
Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup:
Ø Karakter; yaitu konsekuen tidaknya
dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau
pendapat.
Ø Temperamen; yaitu disposisi reaktif
seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang
datang dari lingkungan.
Ø Sikap; sambutan terhadap objek yang
bersifat positif, negatif atau ambivalen.
Ø Stabilitas emosi; yaitu kadar
kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah
tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
Ø Responsibilitas (tanggung jawab),
kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan.
Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari
resiko yang dihadapi.
Ø Sosiabilitas; yaitu disposisi
pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi
yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam
upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka
konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang
melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu,
seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan
dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian
hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan
lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya.
Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk
memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang
mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor
kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya.
Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis,
setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik,
yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau
psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.
3. Landasan Social Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat
memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi
kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang
individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia
hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan
pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di
sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan
tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi
dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam
proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila
perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan
timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat
terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan
dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal
antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki
latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003)
mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi
sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu:
a. perbedaan
bahasa
b. komunikasi
non-verbal
c. stereotype
d. kecenderungan
menilai
e. kecemasan.
Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak
yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak
belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau
golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang
biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat
menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan
reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan
budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan
dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang
menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat
sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin
harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia,
Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling
multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural
sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan
konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu
kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih
berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan
kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan
profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori
maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara
logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan,
wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris
yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan
ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan
bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran,
pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno,
2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat
“multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi
perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi,
ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi,
ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin
ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan
konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori
dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran
kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi
informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak
dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003)
bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan
bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa
sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan
individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap
muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui
internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan
dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam
penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran
konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh
McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai
ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang
bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun
melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam
konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling
dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan
yuridis-formal.
5. Landasan Paedagogis
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling
ditinjau dari tiga segi, yaitu:
a. pendidikan
sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk
kegiatan pendidikan
b. pendidikan
sebagai inti proses bimbingan dan konseling
c. pendidikan
lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
6. Landasan Religius
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling
ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu:
a. manusia
sebagai makhluk Tuhan
b. sikap
yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan
sesuai dengan kaidah-kaidah agama
c. upaya
yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan
perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan
yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu
perkembangan dan pemecahan masalah.
Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren
bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual.
Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah
menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan
batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang
kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling
yang berlandaskan spiritual atau religi.
7. Landasan Yuridis Formal
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan
dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan
konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang
mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar